Pembangunan ekonomi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara.
Pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi (economic growth); pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi.
Yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional[1]. Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi apabila terjadi peningkatan GNP riil di negara tersebut. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi.
Perbedaan antara keduanya adalah pertumbuhan ekonomi keberhasilannya lebih bersifat kuantitatif, yaitu adanya kenaikan dalam standar pendapatan dan tingkat output produksi yang dihasilkan, sedangkan pembangunan ekonomi lebih bersifat kualitatif, bukan hanya pertambahan produksi, tetapi juga terdapat perubahan-perubahan dalam struktur produksi dan alokasi input pada berbagai sektor perekonomian seperti dalam lembaga, pengetahuan, dan teknik.
Faktor
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, namun pada hakikatnya faktor-faktor tersebut dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu faktor ekonomi dan faktor nonekonomi.
Faktor ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi diantaranya adalah sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya modal, dan keahlian atau kewirausahaan.
Sumber daya alam, yang meliputi tanah dan kekayaan alam seperti kesuburan tanah, keadaan iklim/cuaca, hasil hutan, tambang, dan hasil laut, sangat mempengaruhi pertumbuhan industri suatu negara, terutama dalam hal penyediaan bahan baku produksi. Sementara itu, keahlian dan kewirausahaan dibutuhkan untuk mengolah bahan mentah dari alam, menjadi sesuatu yang memiliki nilai lebih tinggi (disebut juga sebagai proses produksi).
Sumber daya manusia juga menentukan keberhasilan pembangunan nasional melalui jumlah dan kualitas penduduk. Jumlah penduduk yang besar merupakan pasar potensial untuk memasarkan hasil-hasil produksi, sementara kualitas penduduk menentukan seberapa besar produktivitas yang ada.
Sementara itu, sumber daya modal dibutuhkan manusia untuk mengolah bahan mentah tersebut. Pembentukan modal dan investasi ditujukan untuk menggali dan mengolah kekayaan. Sumber daya modal berupa barang-barang modal sangat penting bagi perkembangan dan kelancaran pembangunan ekonomi karena barang-barang modal juga dapat meningkatkan produktivitas.
Faktor nonekonomi mencakup kondisi sosial kultur yang ada di masyarakat, keadaan politik, dan sistem yang berkembang dan berlaku.
Tujuan Pembangunan EkonomiTeori ekonomi konvensional setidaknya memperkenalkan dua hal fundamental berkaitan dengan tujuan pembangunan ekonomi. Pertama memperbaiki tingkat pendapatan riil individu dan yang kedua, menegakkan keadilan distribusi pendapatan. Dua tujuan tersebut menjadi fokus pembicaraan di kalangan penulis muslim. Namun sebagian mereka menambahkan tujuan lain yang menjadi karakteristik masyarakat muslim. Quhaf misalnya, mengatakan tujuan pembangunan ekonomi untuk membentuk iklim yang kondusif bagi keagungan nilai-nilai Islam dalam suatu masyarakat yang sejahtera secara material. Dengan demikian, pembangunan ekonomi yang memiliki karakteristik islami harus dapat meningkatkan komitmen umat Islam terhadap agamanya. Al-Rubi mengkorelasikan pembangunan ekonomi dengan kewajiban-kewajiban keagamaan. Menurutnya, tujuan pembangunan ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan sehingga setiap individu dapat melaksanakan dan komitmen terhadap ajaran agama mereka. Sedangkan menurut Yusuf, tujuan pembangunan ekonomi harus dapat merubah masyarakat dari keadaan yang tidak diridai Allah menjadi keadaan yang diridai-Nya.
Diantara tujuan pembangunan ekonomi yang sering disebutkan dalam karya-karya kontemporer adalah untuk memenuhi kebutuhan secara memadai (al-had al-kifayah) bagi setiap masyarakat muslim. Asas yang mendasari ide al-had al-kifayah dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Abu Ubaid, As-Sarakhsi dan Al-Mawardi, dan kadang-kadang makna al-had al-kifayah tersebut secara inplisit terdapat dalam beberapa hadist Nabi tentang zakat. Al-Fanjari boleh dikatakan seorang penulis yang paling banyak menghubungkan konsep al-had al-kifayah dengan pembangunan ekonomi. Namun sebagian besar penulis melihat perlu membedakan antara haddul al-kifayah dangan haddu al-kafaf karena Islam mewajibkan kita untuk memenuhi tingkat kebutuhan haddul al-kifayah. Berbeda dengan sistem ekonomi lain yang hanya memenuhi tingkat kebutuhan haddu al-kafaf.
Sementara pengertian al-had al-kifayah sebagai target pembangunan ekonomi masih menjadi perdebatan. Ada yang mengatakan al-had al-kifayah adalah memerangi kemiskinan. Tetapi ada pula yang mengartikan al-had al-kifayah meliputi semua kebutuhan "hidup sejahtera" termasuk perhiasan wanita, buku-buku dan kebutuhan perkawinan bagi pemuda muslim ….dst, atau menurut Mansur meliputi berbagai sarana pembinaan dan pendidikan "mukmin yang berkualitas"(almu'min alqawi). Namun beberapa penulis menolak konsep al-had al-kifayah dan al-had al-kafaf. Mereka menegaskan bahwa tujuan pembangunan ekonomi adalah untuk merealisasikan kesejahteraan yang maksimal bagi setiap anggota masyarakat. Walaupun demikian analisis mereka tentang tujuan pembangunan ekonomi bagi masyarakat muslim terdorong oleh niat untuk mengatasi masalah-masalah kemiskinan.
Secara umum dapat difahami bahwa menegakkan keadilan dalam distribusi pendapatan dan pemanfaatan sumber-sumber ekonomi secara ideal dan fungsional dan meningkatkan kapasitas produksi dan sumber daya manusia sejalan dengan Islam. Quhaf menambahkan perlunya menselaraskan pembangunan ekonomi di berbagai daerah. Sedangkan Naqwa mengingatkan perlunya mempertimbangkan kebutuhan generasi mendatang dalam pemanfaatan sumber-sumber ekonomi.
Khursyid menambahkan bahwa tujuan pembangunan ekonomi adalah untuk merealisasikan desentralisasi. Sedangkan menurut Siddiqi tujua pembangunan ekonomi untuk mewujudkan keseimbangan dan memperbaiki peradaban. Beberapa penulis mengemukakan bahwa menetapkan batasan kebutuhan dalam kehidupan (al-had) merupakan suplemen dari tujuan pembangunan. Sedangkan pokok dari tujuan pembangunan ekonomi dalam Islam adalah merealisasikan independensi ekonomi bagi masyarakat muslim.
Sebagian penulis mendiskusikan kemungkinan terjadinya kerancuan antara tujuan yang berkaitan dengan realisasi tingkat pertumbuhan ekonomi yang maksimal dengan distribusi pendapatan yang adil. Menurut Naqwa: "Islam tidak dapat menerima kalau keadilan dalam distribusi pendapatan tidak terwujud, walaupun dilihat dari aspek pertumbuhan ekonomi sangat tinggi." Kalaulah, kata Naqwa hanya ada dua pilihan yaitu menegakkan keadilan distribusi dan merealisasikan pertumbuhan ekonomi yang bagus maka lebih baik kita memilih tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif kurang dengan keadilan distribusi yang merata.
Adapun Mansur menafikan adanya pertentangan antara keadilan distribusi dengan tingkat pertumbuhan. Hal ini menurutnya lebih bersifat ilusi karena sampai saat ini jarang sekali hasil studi yang membuktikan validitas pendapat tersebut.
Tolok Ukur Pertumbuhan Ekonomi
Sistem ekonomi pada umumnya memfokuskan tingkat pendapatan riil individu sebagai tolok ukur pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi pada era modern terdapat indikator-indikator lain seperti keadilan dalam distribusi pendapatan, keberhasilan dalam mengatasi pengangguran atau membuka lapangan kerja dan lain-lain.
Terdapat kecenderungan para penulis untuk menolak tingkat pendapatan riil individu sebagai satu-satunya alat ukur pertumbuhan ekonomi.
Menurut Khursyid "adalah keharusan bagi kita untuk meninggalkan semua model pertumbuhan global yang memfokuskan perhatiannya pada realisasi tingkat pendapatan rata-rata secara maksimal sebagai satu-satunya indikator pertumbuhan ekonomi. Al-`Audhi menambahkan "Sesungguhnya pembangunan ekonomi yang dimaksudkan secara Islami lebih luas dari pada sekadar meningkatkan pendapatan rata-rata bagi setiap individu. Adapun Dunya menolak pendapatan rata-rata individu sebagai indikator pertumbuhan ekonomi dan memberikan solusi lain yang dinamainya al-miqyas al-Islami (alat ukur pertumbuhan ekonomi Islam). Alat ukur ini adalah kondisi riil masing-masing individu dalam masyarakat yang tercermin dalam pelayanan dan barang yang mungkin dapat diperoleh oleh mereka.
Adapun `Affar menawarkan alat ukur lain yang lebih sederhana dan bersifat kualitatif yaitu sejauh mana komitmen seseorang dengan Islam sebagai aqidah dan syari'ah. Dalam hal ini mungkin dengan menggunakan indikator-indikator tertentu misalnya sejauh mana komitmen umat Islam untuk mengambil pokok ajaran agama dan prinsip-prinsip undang-undangnya dalam sistem negara dan sejauh mana upaya mereka untuk mendirikan lembaga-lembaga Islam, menyebarkan da'wah, menyediakan masjid-masjid dan sarana-sarana yang lain. Akan tetapi sebagian penulis menolak alat ukur apa pun yang bertujuan untuk membandingkan masyarakat muslim dengan non muslim. Menurut Yasri: "Adalah tidak benar bagi masyarakat Islam apabila mereka sungguh-sungguh memajukan ekonomi untuk menyibukkan dirinya membandingkan tingkat kemajuan ekonomi mereka dengan masyarakat non muslim, karena masing-masing memiliki hukum yang berbeda-beda". Ketertinggalan negara-negara Islam, lanjut Yasri merupakan bagian dari peringatan dan pendidikan Tuhan (at-ta'dib al-ilahi). Hal ini disebabkan oleh kejauhan mereka dari jalan yang benar. Akan tetapi Yasri sendiri tidak memberikan alat ukur tertentu untuk membandingkan tingkat kemajuan masyarakat muslim itu sendiri.